Tuesday 11 February 2014

Keramahan di Tengah Kepedihan Perang di Suriah


Sejak zaman jahiliyyah, bangsa Arab sudah dikenal sebagai bangsa yang suka memuliakan tamu. Hingga kini, ketika tim relawan Peduli Muslim datang ke Suriah negara yang penduduknya dari bangsa Arab, kami mendapati sikap tersebut masih melekat pada diri mereka. Di antara warga Suriah yang kami kunjungi adalah Ummu Nadzir Al-Karum. Tujuan kami berkunjung adalah untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan, amanah dari kaum muslimin Indonesia yang dititipkan kepada kami.

Ummu Nadzir Al-Karum tinggal di pinggiran kampung ihsim, provinsi Idlib. Kami memandang beliau termasuk diantara warga yang layak di berikan bantuan, apalagi beliau telah kehilangan banyak anggota keluarga akibat perang. Namun, dengan segala keterbatasan yang beliau miliki, beliau tetap antusias menyambut tamu. Ketika kami dantang, beliau sedang memasak roti untuk persiapan berbuka bagi beliau dan kedua cucunya. Begitu melihat kami, beliau meminta kami untuk berbuka di rumah beliau. Begitulah sifat asli bangsa Arab yang sangat memuliakan tamu. Bahkan, di setiap rumah yang kami kunjungi di Suriah, selalu saja penghuni rumah mengajak kami untuk makan dirumahnya, baik di waktu berbuka puasa atau di di waktu makan yang lain.

Kemudian, sewaktu kunjungan di rumah Ummu Nadzir Al-Karum, kami memperoleh kisah yang beliau tuturkan.

Suatu hari diwaktu sore, dua putri beliau bersama dua anaknya sedang berada di halaman rumah. Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara bummmm. Terdengar ledakan yang sangat keras. Lalu terlihat debu berterbangan, semuanya terdiam tanpa suara. Setelah debu mulai menipis, tampaklah empat mayat terkapar tepat di tengah-tengah rumah. Dua putri beliau dan dua cucunya diam tak bernyawa dengan tubuh terkoyak pecahan bom, penuh bersimbah darah. Inna lillahi wa inna ilaihi ro'jiun.

Sekarang beliau tinggal sebatang kara bersama dua cucu tersayang dirumah yang menjadi saksi bisu kekejaman rezim Bashar Al-Assad dan sekutunya dari kalangan Syiah Iran dan Hizbullah Lebanon (baca : Hizbusy-syaithon). Ketika kami menyerahkan bantuan uang santunan kepada beliau, mata beliau berkaca-kaca tak kuasa menahan rasa haru seraya lisannya mengatakan, Allah yu'tikum as-salamah wal-'afiyah. Ucapan doa ini terus beliau ulang beberapa kali sampai kami meninggalkan rumah beliau. Kami berjalan dengan hati pedih mendengar suara beliau. Air mata pun mengalir deras sulit untuk dicegah.

Disadur dari Kisah yang diceritakan Ustadz Abu Sa'ad (Relawan Peduli Muslim di Suriah)

Sumber : Majalah Kabar Dakwah | Edisi IX | Oktober-Desember 20213

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More